top of page

Siswa SMK Analis Kimia, Mahasiswa Biokimia, dan Cerita di Balik Semuanya (01)

Gambar penulis: Galih Tridarna PoetraGalih Tridarna Poetra

Diperbarui: 17 Mar 2019

"Lo mau ke SMA mana nanti? #Recis lagi atau pindah ke yang lain?" Pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang terus bergulir dari teman-teman seangkatan saya ketika kelas 9, tahun 2007 dulu.


Sempat terpikir untuk melanjutkan ke SMA Regina Pacis lagi, tanpa harus banyak beradaptasi dengan teman-temannya. Ah tapi, kedua kakak saya pun tidak melanjutkan ke SMA Recis lagi. Mereka melanjutkan ke SMA Negeri 2 Bogor dan diizinkan oleh kedua orang tua saya. Saya pun bertekad untuk tidak melanjutkan studi saya di Regina Pacis kala itu, dengan alasan utama 'mencari suasana baru'. "Bosen bro di sana terus... Ketemunya lo lagi lo lagi..."


Orang tua saya sempat menentang keputusan saya. Saya boleh pindah, asalkan meneruskan ke SMA Negeri 1 (yang notabene nilai saya tidak mumpuni untuk jadi siswa smansa Bogor), atau meneruskan lagi di Regina Pacis. Sempat berdiskusi banyak dengan wali kelas + guru favorit saya kala itu, Bu Atmijiningsih, guru biologi SMP Regina Pacis, sebaiknya saya memilih yang mana.


Bu Atmi menyarankan saya untuk meneruskan ke SMK Analis Kimia yang ada di Bogor. Beliau sebetulnya mengetahui keinginan saya untuk tidak melanjutkan ke Regina Pacis. Bu Atmi juga menyarankan saya untuk meneruskan ke SMAKBO karena beliau tahu saya sangat menyukai pelajaran biologi dan kimia (dan kala itu merupakan nilai terbaik saya). Dan sangat beruntung #SMAKBO pun membuka jalur seleksi rapor. Tidak ada salahnya untuk dicoba, kan?


SMAKBO saat Lustrum (Reuni Akbar 5 tahun sekali) tahun 2016

Tanggal 30 Maret 2007, saya ingat. Selesai saya berdiskusi dengan Bu Atmi, saya mengobrol dengan salah satu sahabat saya, yang memang rumahnya cukup dekat dengan SMAKBO. Saya meminta tolong untuk dilihatkan kapan tanggal pendaftaran seleksi rapor terakhir. Sesampainya dia di rumah, saya dikabari bahwa pengumpulan rapor terakhir adalah 30 Maret. Tanpa pikir panjang, saya meminta tolong ayah saya untuk mengantarkan saya dengan motor bebeknya ke SMAKBO.


Ayah saya pertama kali mengantarkan ke gedung SAKMA (nama SMAKBO sebelum diubah) lama, di samping BBIA seberang BTM saat ini, yang padahal sudah bukan gedung SMAKBO lagi sejak tahun 1985. Lalu, dengan panik kami terburu-buru ke Cimahpar, gedung SMAKBO ada di sana, dengan yakinnya ayah saya ngebut. Waktu sudah pukul 15.00 kala itu. Khawatir terlampau sore dan sudah terlambat untuk mendaftarkan rapor saya.


Sesampainya di Cimahpar, terpampang jelas tulisan Akademi Kimia Analisis (#AKA), bukan SMAKBO. Entah antara sedih dan ingin tertawa, saya cuma bisa pasrah. Di 2007, mengakses Google Maps atau Waze belumlah semudah sekarang. Jadi, keyakinan ayah saya akan posisi SMAKBO di Cimahpar belum bisa divalidasi secara segera. Bertanya dengan orang AKA, menanyakan di mana letak SMAKBO, kami langsung menancapkan gas motor kami ke Ciheuleut (yang padahal lokasinya sudah cukup dekat dari BTM).


Di SMAKBO, pukul 15.45, pendaftaran sudah hampir ditutup, kami dikejutkan bahwa penutupan pendaftaran SMAKBO adalah 30 April, bukan Maret. Alhamdulillah, saya masih diberikan kesempatan untuk beradu nasib di seleksi rapor, yang ternyata masih banyak syarat pendaftaran saya masih belum saya siapkan.


Tidak mudah mendaftar di SMAKBO bagi saya. Dua minggu setelah saya mengumpulkan berkas-berkas pendaftaran, ujian masuk SMA Regina Pacis diadakan. Saya mengikuti seleksi tertulisnya pun dengan terpaksa dan berkesan ogah-ogahan, khawatir diterima justru. Soal seleksinya sebetulnya sulit, setingkat SMA jika saya ingat. Tapi, demi membahagiakan ibu saya, saya tetap semaksimalnya mengerjakannya. Apapun hasilnya, saya terima.


Perdebatan pun terjadi keluarga kecil kami. Masuk ke SMK - program 4 tahun - KIMIA pula, menjadi momok yang mengerikan bagi keluarga saya. Mereka khawatir saya tidak kuat mengikuti pelajarannya dan malah di-drop out di tahun pertama. Ya, SMAKBO masih memiliki aturan untuk mengeluarkan siswanya jika tidak naik kelas di tingkat pertama. Hal itulah yang menyebabkan keluarga saya ragu untuk memasukkan saya ke SMAKBO. Khawatir saya tidak kuat dan tidak sanggup. Bahkan kedua orang tua saya memberikan syarat, jika tidak lolos di seleksi rapor, maka saya tidak boleh masuk SMAKBO, walaupun melalui seleksi tertulis.


Padahal, di hati kecil saya, saya insya Allah yakin diterima di seleksi rapor, mengacu ke persyaratan yang diberikan SMAKBO, yaitu nilai rata-rata 7.00 di setiap semesternya. Walau ya, harap-harap cemas juga sebetulnya. Selain itu, saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya akan sanggup untuk mengikuti pelajaran KIMIA selama 4 TAHUN, karena memang senang untuk menghabiskan waktu melakukan penelitian sains.


Akhir bulan Mei, pengumuman SMA Regina Pacis dilakukan terlebih dahulu. Sesuai prediksi teman-teman saya, 80% lulusan SMP Regina Pacis pasti diterima kembali di SMA-nya. DAN benar. Saya merupakan salah satu dari 80% yang beruntung untuk menjadi siswa SMA Regina Pacis. Bersyukur? Alhamdulillah saya bersyukur ternyata walaupun soalnya cukup sulit, saya masih dinilai cukup baik untuk menjadi siswa SMA itu. Senang? Seingat saya, saya tidak merasakan euphoria mendalam setelah pengumuman itu.


Perasaan itu berbanding 180° ketika SMAKBO mengumumkan siswa-siswi yang lolos seleksi rapor untuk tahun ajaran 2007/2008. Mencari nomor pendaftaran saya kala itu, nomor 248, berharap-cemas mencari satu nomor itu ada di tengah puluhan-puluhan angka yang berserakan, dan alhamdulillah! Nomor saya ada di antaranya! Saya ingat sekali saya langsung berteriak sekencang-kencangnya dan memeluk ayah saya. Saya langsung menelpon ibu saya di rumah untuk mengabarkan hasil pengumuman itu. Sampai saat ini, momen itu menjadi salah satu momen kebahagiaan terbesar di memori saya.

Comments


GALIH TRIDARNA POETRA   |  2020

bottom of page